Hidup di masa digital, Generasi Z atau Gen Z adalah generasi yang amat aktif di internet. Wakil Rektor IV Universitas Diponegoro (Undip), Wijayanto menyebutkan di Indonesia, 185 juta orang mengfungsikan internet bersama rata-rata waktu 7 jam 38 menit per hari.
Dalam kuantitas waktu tersebut, 3 jam 11 menitnya dihabiskan di sarana sosial. Oleh sebab itu lumrah sekiranya pengguna sarana sosial menciptakan ilusi mengenai kehidupan yang sempurna.
Hal ini menurutnya mengarah terhadap fenomena “wang sinawang”. Fenomena ini membuat pengguna sarana sosial kerap membandingkan hidup mereka bersama deskripsi kehidupan yang ideal.
Fenomena ‘wang sinawang’ (adalah) di mana pengguna sarana sosial, terlebih remaja putri, kerap membandingkan hidup mereka bersama deskripsi hidup ideal yang diposting oleh orang lain. Ini membuat perasaan tidak suka dan persoalan kebugaran mental layaknya kecemasan dan depresi
Tantangan Gen Z di Media Sosial
Sementara itu, sarana sosial menurut Guru Besar Psikologi Undip, Dian R Sawitri bisa membuat distraksi dan adiksi. Sebagai generasi yang bakal mendominasi dunia kerja terhadap tahun 2025, sarana sosial tentu mempunyai sisi positif.
Seperti menambahkan layanan dalam perihal koneksi sosial, pembelajaran, dan perlindungan online. Mereka juga bisa mengfungsikan sarana sosial sebagai platform digital untuk beroleh Info hingga ekspresikan diri.
Namun dibalik fungsi tersebut, tersedia risiko layaknya cyberbullying dan konten negatif yang bisa merusak kebugaran mental mereka. Oleh karenanya, sarana menambahkan efek langsung terhadap kehidupan Gen Z di bermacam aspek juga sikap.
Hal berikut diungkapkan oleh Akademisi Psikologi Undip, Hastaning Sakti. Hastaning menyebutkan sekiranya tersedia 4 efek sarana sosial terhadap kehidupan Gen Z, yakni:
1. Masalah berbahasa
Berbahasa atau menyampaikan suatu hal bisa berbeda di tiap-tiap generasinya. Gen Z mengfungsikan cara berkomunikasi yang lebih cepat dan praktis. Akibatnya muncul bermacam singkatan baru.
Singkatan ini kelanjutannya menyebar luas. Didukung bersama ada sosial media, berbahasa ala Gen Z digunakan untuk memudahkan komunikasi.
Tetapi ternyata berbahasa juga bisa jadi persoalan yang membuat hadirnya gap (jarak) antar generasi dalam berkomunikasi. Akibatnya tidak jarang seseorang tidak benar menangkap arti mengenai Info yang disampaikan terhadap sarana sosial.
2. Gen Z mempunyai banyak kepribadian
Ciri generasi digital bisa dilihat terhadap seseorang yang mempunyai lebih berasal dari satu kepribadian. Hastaning menyebutkan kebanyakan Gen Z mempunyai akun ke-2 di sarana sosial.
“Di mana dalam akun berikut bisa menunjukkan jati diri yang sebetulnya waktu akun satunya untuk ekspresi mengenai dirinya yang lain,” katanya.
Fenomena ini menunjukkan ada persoalan kepercayaan diri. Sehingga Gen Z kerap terasa sulit untuk mendefinisikan siapa mereka.
3. Perilaku minim etika
Perilaku minim etika di Gen Z tidak jarang muncul saat mereka berani memaki orang yang lebih tua di sarana sosial. Padahal mereka berdua tidak saling kenal.
Kejadian lain mengenai bersama prilaku minim etika adalah fenomena seks bebas yang konsisten berkembang di Indonesia. Fenomena pernikahan tanpa ikatan resmi semakin marak di kalangan anak muda waktu ini.
“Perilaku ini jadi perhatian serius, sebab mengenai bersama degradasi ethical dan sosial,” sadar Hastaning.
Selanjutnya tersedia persoalan kecanduan rokok, narkoba, dan minuman keras (miras) di kalangan remaja yang juga meningkat. Mirisnya perihal ini juga terjadi di lingkungan pendidikan.
Untuk menyelesaikannya diperlukan kerja sama bersama bermacam pihak juga sekolah dan perguruan tinggi. Jangan hingga Gen Z yang seharusnya jadi generasi emas harus hilang sebab bermacam persoalan ini.
4. Kesehatan mental
Kesehatan mental bagi para Gen Z tidak cuma didapatkan berasal dari sarana sosial. Tetapi juga persoalan interpersonal layaknya konflik bersama pacar, toxic relationship, konflik bersama keluarga dan bermacam persoalan lainnya.
Sayangnya tak jarang Gen Z mempunyai persoalan interpersonal ke ruang publik di sarana sosial. Sehingga banyak pihak yang ikut terlibat dan menambahkan komentar yang membuat situasi serius.
Baca Juga : swaragresik | Semua stasiun radio utama di Indonesia
Selain itu, obesitas dan gangguan mood layaknya depresi atau kecemasan jadi persoalan kebugaran yang kerap ditemukan di kalangan remaja dan mahasiswa. Aurora Ardina Fawwaz, seorang Peer Counselor “Kita Teman Cerita” membetulkan sekiranya sarana sosial kerap kali membangan standar yang tidak realitas mengenai pencapaian dan tampilan fisik.
Sehingga Gen Z kerap terasa dirinya tidak berharga dan mendapat tekanan untuk mencukupi tampilan fisik. Untuk menanggulangi perihal ini, penggunaan sarana sosial yang bijak amat diperlukan.
“Menetapkan batasan dalam penggunaan. Seperti halangi screen time, pilih tujuan yang sadar dalam mengfungsikan sarana sosial, dan berhati-hati dalam menambahkan komentar, merupakan lebih dari satu cara yang bisa diambil alih untuk melindungi kebugaran mental,” pesannya.
Apa yang Harus Dilakukan?
Hastaning menyimpulkan keterbukaan dan komunikasi pada orang tua dan anak jadi tidak benar satu aspek yang membuat perihal ini bisa terjadi. Akhirnya Gen Z melacak pembenaran lain di sarana sosial yang berujung cara berpikir mereka terpengaruhi.
Gen Z bukanlah generasi stroberi yang dianggap rapuh. Hastaning menekankan pentingnya mendidik anak cocok bersama zamannya, sebab mereka hidup di dunia yang berbeda bersama generasi sebelumnya.
“Dilihat berasal dari populasi masyarakat di Indonesia, gen Z memasang 29% populasi di Indonesia. Artinya Gen Z bakal jadi generasi emas mendatang, jadi mutlak untuk Gen Z ini mengembangkan skillnya,” tegasnya.
Selain itu, Gen Z peru mendapat perlindungan yang tepat sehingga bisa berkembang jadi generasi yang kreatif, inovatif, dan penuh empati. Oleh sebab itu, pemerintah dan lembaga pendidikan harus fokus dalam menambahkan perlindungan kebugaran mental.
Termasuk menerapkan kebijakan yang bisa melindungi generasi muda berasal dari risiko kebugaran yang lebih besar.